Tuesday, November 5, 2013

NOVEMBER

The month of November is dedicated to the souls in the purgatory. 

Tender God of Mercy, You so loved us that You sent Your only Son, Jesus, to be our Redeemer. In Him we have come to know You and love You. As we draw closer to You, we seek to share the Good News of Your powerful life-giving Love. In this month of the Holy Souls, we pray for all the faithful departed, and especially for the relatives, friends, and neighbors who brightened our lives.

(here pause to mention those you wish to remember)

Through the intercession of Mary, the Mother of God, and of St. Therese of the Child Jesus, I commend them to Your Divine Mercy. May they welcome these souls into Your heavenly garden. Tender God of Mercy, may these souls, all who sleep in Christ, and all who seek You with a sincere heart, find in Your Presence light, happiness, and peace. Lead them into the fullness of the resurrection and gladden them with the light of Your Face. Amen.

GSTJ november 2013



Mengapa kita “membuat” tanda salib dan mulai kapan “membuat” tanda salib berlaku dalam ajaran Katolik? 

Pembuatan tanda salib di dahi dengan ibu jari atau jari telunjuk sudah menjadi kebiasaan sejak abad II. Tetapi, baru menjadi lebih umum digunakan dalam liturgi pada abad IV. Selain dahi, juga bibir dan dada diberi tanda salib. Pembuatan tanda salib besar yang dimulai dengan dahi, dada kemudian bahu kiri dan kanan, sudah dilakukan abad V sebagai devosi privat. Pembuatan tanda salib ini biasanya disertai dengan mengucapkan rumusan “Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin.”

Menandai diri dengan salib mempunyai beberapa arti. Pertama, menandai tubuh seorang katekumen dengan salib berarti memeteraikan tubuh katekumen itu sebagai milik Kristus secara menyeluruh, atau mengakui iman yang tak tergoncangkan kepada Kristus. Kedua, menandai dengan salib berarti meneguhkan keunggulan kuasa Kristus atas roh-roh jahat. Ketiga, membuat tanda salib bisa juga merupakan ungkapan secara efektif memohonkan rahmat Allah melalui jasa-jasa Yesus Kristus yang tak terbatas. Rahmat itu dimohonkan untuk tindakan atau peristiwa yang terkait dengan doa ini.

Keempat, menandai dengan salib juga berarti memberikan berkat kepada pribadi atau atas barang melalui jasa-jasa Kristus di salib. Kelima, menandai dengan salib berarti menguduskan pribadi atau barang bagi Tuhan, seperti halnya pengudusan yang terjadi pada Sakramen Baptis.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--
MANUSIA BERASAL DARI ADAM dan HAWA: Bagaimana mungkin?

Ketika Romo menjelaskan tentang “Penciptaan Adam dan Hawa” (HIDUP No 31, 3 Agustus 2008), Romo menegaskan bahwa Gereja Katolik mengajarkan monogenisme, artinya bahwa umat manusia berasal dari satu pasangan saja. Penegasan ini dilakukan untuk menentang ajaran tentang poligenisme, yaitu bahwa umat manusia berasal dari beberapa pasangan. Padahal, dalam penjelasan tentang “Siapa istri Kain?” (HIDUP No 36, 9 September 2007) Romo menyiratkan bahwa ada juga manusia-manusia lain selain Adam, Hawa, dan Kain, sehingga istri Kain bukanlah Hawa tetapi wanita lain. Bagaimana mengerti hal-hal yang tampaknya bertentangan ini? Apa sebenarnya yang mau diajarkan Gereja berkaitan dengan kisah Adam dan Hawa ini? Mohon penjelasan.

Valens Jelatu, 085239012xxx

Pertama, ajaran tentang monogenisme berasal dari Konsili Trente (DS 1513), kemudian diteguhkan Paus Pius XII (Humani Generis, 1950), dan ditegaskan kembali oleh Paus Paulus VI pada pidato 11 Juni 1966. Ajaran tentang monogenisme ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa kejatuhan ke dalam dosa adalah ”satu kejadian purba yang terjadi pada awal sejarah umat manusia.” (KGK 390) Menyimak dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes no 13 (terbit 1965) dan KGK 390 (terbit 1993), tidak lagi dipermasalahkan, apakah sejak awal itu ada satu pasang atau beberapa pasang. Kepastian iman yang hendak diajarkan ialah bahwa manusia yang diciptakan dalam keadaan baik itu, menyalahgunakan kebebasannya dan tidak mematuhi perintah Allah. Di situlah terletak dosa pertama manusia. (KGK 397, 398). Ajaran Gereja dalam Katekismus ini bersifat terbuka dan tidak membatasi pada konsep adanya satu pasang nenek moyang.

Kedua, kepastian iman kedua yang diberikan oleh wahyu Ilahi ialah bahwa dosa pertama itu telah ditularkan ke seluruh sejarah umat manusia (KGK 390). Keselarasan dan kekudusan yang telah direncanakan Allah hilang karena dosa pertama nenek moyang kita dan manusia pada umumnya menjadi rusak sama sekali (KGK 379, 397-401). Dengan kata lain, dosa pertama itu bukan hanya melukai si pelaku, tetapi juga mengenai seluruh umat manusia dan turun-temurun, serta merusak relasi umat manusia dengan Allah, sesama, diri sendiri, dan juga dengan alam semesta (KGK 374-376).

Mengapa dosa pertama itu mempunyai dampak yang sedemikian luas bahkan turun-temurun? Karena setiap manusia bersifat relasional, artinya dalam diri manusia, “seluruh umat manusia bersatu ’bagaikan tubuh yang satu dari seorang manusia individual’ (Tomas Aqu., mal. 4.1).” Karena ’kesatuan umat manusia ini’, semua manusia terjerat dalam dosa pertama tersebut. (KGK 404).

Ketiga, penjelasan di atas menunjukkan bahwa soal monogenisme dan poligenisme tidak lagi menjadi soal, jika kedua kepastian iman tersebut di atas bisa dipertahankan. Keberatan yang seringkali diajukan melawan teori poligenisme ialah berkaitan dengan cara penularan dari dosa pertama itu, yaitu bahwa dosa itu mengenai seluruh keturunan Adam. Jika pada awal mula ada banyak pasangan manusia, bagaimana dosa pertama itu mengena juga pada pasangan lain dan juga keturunan mereka?

Konsep penularan atau perkembangbiakan dosa pertama tentu harus dilepaskan dari konsep penularan biologis, artinya dosa itu mengenai bukan hanya keturunan biologis dari manusia dengan dosa pertama, tetapi juga mengenai manusia lain yang ada bersama dengannya, dan dengan demikian juga mengenai seluruh keturunan pasangan-pasangan itu. Dengan demikian, akhirnya seluruh umat manusia terkena dosa pertama itu. Inilah yang disebut sebagai dosa asal atau warisan keadaan dosa.

Katekismus menegaskan kembali ajaran tradisional bahwa dosa asal itu “menimpa kodrat manusia.... Dosa itu diteruskan kepada seluruh umat manusia melalui pembiakan, yaitu melalui penerusan kodrat manusia, yang kehilangan kekudusan dan keadilan asali.” (KGK 404). Pembiakan atau penerusan melalui kodrat itu tidak boleh dimengerti sebagai konsep biologis, tetapi dengan konsep teologis seperti halnya kita menyebut Abraham sebagai bapa iman kita. Konsep penularan ini juga sepadan dengan konsep penebusan, yaitu bagaimana rahmat penebusan Yesus Kristus dikenakan pada semua orang, meskipun secara biologis kita tidak mempunyai hubungan darah dengan Yesus Kristus (bdk Rom 5:12-21).

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--

Iman

IMAN
Selasa, 5 Nopember 2013
+++

Kiunga, Papua New Guinea --- Pak Sergius datang lagi. Lama tak mendengar batuknya. Itu ciri khasnya. Kalo dtg, yg prtama kdengaran bkn ketukan pintu ato sapaan slamat pg, slamat siang ato slamat ulang tahun. Dia menyapa dgn batuknya. Bkn batuk biasa, tp TBC.

Byk skali umatku kena TBC. Minggu lalu slama 2 hari ada penyuluhan ttg TBC dr Kiunga General Hospital.Pak Sergius tdk hadir. Dia ngurus istrinya yg sakit muntaber skaligus krg darah, krg gizi, krg berat bdan dan krg smuanya deh. Nah, kan, lengkap sudah. Suami TBC, isteri muntaber. Anaknya? Ndak ada di situ jg. Yg tua udh brkluarga. Yg muda skolah di Kiunga. Otomatis si sakit ngurus dirinya sndiri.

Kalo ingat kata Yesus ‘biarlah org mati ngurus org mati,’ lha dua org ini istilahnya ‘biarlah org sakit mrawat org sakit.

’Sabtu lalu aku ke rumahnya. Ngobrol lama sambil bakar ketela. Barusan sore ini Pak Sergius dtg lg. Kbiasaannya slain batuk adlh minta air minum. Utk itu aku sdh siapkan gelas n tempat air khusus utknya. Bkn apa2. Hanya utk jaga2. Kan ndak keren lg kalo namaku brubah dr SPMCM jadi SPMTBC. SPM Tua Bangka Coy.

Bener kan, ndak keren sama skali. SPM tetap CM. Kan msh muda. Blm tua2 amat koq. Yg udh tua tuh Pak Amat. Blom tau? Itu tuh pamanku di kampung sana. (Jangan2 ada yg mau knalan dgn pamanku deh, haha).

Kembali ke Pak Sergius lg. Dia crita ttg istrinya. Dia sayaaang buanget. Prawat mau spy dirawat di klinik, tp ditolaknya. “Biasanya org di klinik cpt matinya. Aku ndak mau mikul mayatnya dr klinik. Kalau mau mati, biar di rmh saja,” Bgitu alasannya.

Di rmhpun dia sdh putus asa. “Minggu lalu istriku sdh jalan (mati). Jauuhhhh skali. Lalu aku panggil dgn doa rosario. Dia lalu plg lagi brsama Bunda Maria,” bgitu ksaksiannya.

Dlm hati aku brkata, “Bpak, imanmu luar biasa. Nanti kalo Fada turne jln kaki lalu sesat di hutan, tolong doakan jg ya. Siapa tau Fada plg diantar bidadari Papua secantik Bunda Maria.
+++

”Iman itu tidak perlu besar. Yg ptg membimbing kita ke arah jln yg benar.
--- spmcm.
=========

-In Cruce Salus, Pada Salib Ada Keselamatan. ~Thomas A Kempis, 'de Imitatione Christi' II, 2, 2.

Catatan:
> Dari Memoar harian Romo Silvinus Sapomo, CM. Admin Gereja Katolik dengan motto dan signatura tanda pengenal "Omnia tempus habent."--"untuk segala sesuatu ada masanya."

Seorang imam Katolik, satu dari sekian putera terbaik Republik yang dipanggil Allah untuk melayani umat-Nya dan Gereja Katolik. Terlahir dan tumbuh dewasa sebagai Putera Dayak Linoh di Sintang, Kalimantan Barat. Saat ini sedang berkarya di tanah misi negara tetangga kita: Papua Nugini (Papua New Guinea).

“Sacrosanctum Concilium”

“Sacrosanctum Concilium” mengingatkan kepada kita bahwa “setiap perayaan liturgi-liturgi, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkat yang sama” (SC, 7). Kita perlu memupuk kesadaran iman ini mengenai liturgi, agar liturgi tidak pernah direduksi menjadi sesuatu yang kita manipulasi sesuka hati. Benediktus XVI pernah mengatakan: “sayangnya, kita juga sebagai gembala dan para ahli, lebih memandang liturgi sebagai sesuatu yang perlu diperbaharui daripada sebagai subyek yang mampu membaharui hidup Kristiani” (Ceramah, 6 Mei 2011). Ketika kita merayakan ataupun mempelajari liturgi, kita mesti bersikap penuh hormat bagaikan nabi Musa yang menghampiri semak duri yang menyala, sebagai tanda kehadiran Allah yang hidup.

Perayaan Misa juga tidak boleh dianggap sebagai tindakan formal belaka, yang dilaksanakan setiap kali kita mengadakan pertemuan atau kegiatan lain, hanya karena kita biasa merayakan Misa pada kesempatan seperti ini. Sebaiknya, merayakan misa pada pembukaan sambil menjalankan, dan pada penutupan konferensi liturgi ini justru mengingatkan kita akan ajaran dari Konsili Vatikan II, yakni bahwa “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja, dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya” (SC,10).


Sayangnya, telah beredar mentalitas dan praktek yang menurutnya liturgi harus terus berubah, disesuaikan pada setiap komunitas, menjadi menarik berkat kreativitas kita. Namun perayaan-perayaan yang bersumber pada logika seperti ini tidak akan memperlihatkan eloknya Gereja yang sebenarnya! Kecenderungan untuk terus mencari solusi yang baru untuk menjadikan liturgi menarik, justru menunjukkan bahwa kita tidak mampu menciptakan keindahan liturgi yang nyata.

Nuntius Apostolik Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi
Makassar 15 Oktober 2013   Homili Msg ANTONIO GUIDO FILIPAZZI untuk Pembukaan Konferensi Nasional pada kesempatan 50 tahun daridikeluarkannya Konstitusi "Sacrosanctum Concilium" dari Konsili VatikanII