Tuesday, January 1, 2013

MENGARAHKAN DAN MENYERAHKAN KERINDUANKU YANG TERBESAR KEPADA TUHAN

30 Desember 2012

PESTA KELUARGA KUDUS

1 Sam 1:20-22, 24-28; Mzm 84:2-3,5-6,9-10, 1 Yoh 3:1-2,21-24; Luk 2:41-52

Pada Pesta Keluarga Kudus, Gereja Katolik mengajak kita untuk menilik kehidupan dua perempuan yang berbeda dari zaman yang berbeda pula. Pada bacaan pertama, kita diajak untuk melihat bagaimana Hana menepati nazarnya kepada Tuhan. Apabila kita mencermati latar belakang peristiwa ini, maka kita akan tersadar bahwa bagi Hana, dan memang lazimnya bagi semua perempuan Israel, kemandulan merupakan sebuah aib. Hal ini karena seorang perempuan Yahudi yang mandul itu dikucilkan, baik secara agamawi maupun dalam masyarakat. Hana pasti sadar bahwa kemandulan itu akan mengakibatkan suaminya akan mendapat aib juga. Maka ia lantas memohon pada Yahwe agar Ia berkenan memberinya keturunan. Pada bacaan Injil, kita menjumpai Maria yang sedang berziarah ke Yerusalem dalam rangka perayaan Paskah, mengalami peristiwa yang mengguncangkan. Ia kehilangan Kanak-kanak Yesus di tengah keramaian. Kita tidak tahu persis bagaimana situasi keluarga rumah tangga Keluarga Kudus ketika itu, tetapi barangkali kita boleh mengandaikan bahwa apabila peristiwa ini sampai dicatat oleh Sto.Lukas, sudahlah tentu bahwa peristiwa ini mengesan dalam bagi nara sumber Injil.

Apa yang bisa kita gali dari kedua peristiwa ini? Pertama, Samuel dan Yesus merupakan kerinduan terbesar bagi Hana dan Maria. Samuel merupakan wujud nyata kerinduan Hana untuk memiliki seorang anak. Di sisi lain, Yesus pastilah diharapkan Maria agar suatu saat kelak menyelamatkan bangsa Israel dari penjajahan romawi. Kita semua pastilah memiliki kerinduan terbesar dalam hidup kita. Boleh jadi banyak orang di sekitar kita menertawakan apa yang menjadi kerinduan kita. Bila demikian halnya, kita boleh bercermin pada Hana dan Maria, yang kiranya memiliki kesamaan iman bahwa “tidak ada yang mustahil bagi Allah”. Tapi motivasi apakah sebenarnya yang perlu kita miliki dalam kerinduan kita?

Hal kedua yang bisa kita gali dari bacaan hari ini adalah bahwa Hana dan Maria secara mengesankan meninggalkan teladan agar kita menyerahkan kerinduan kita kepada Tuhan. Selama menantikan kelahiran anaknya, dan terus berlanjut ketika Samuel bertumbuh, Hana hidup dalam satu motivasi ini : ia ingin menyerahkan anaknya kepada Tuhan, dan akhirnya ia memang melakukannya. Peristiwa injil bahkan mengajak kita lebih dalam untuk mendasari tindakan penyerahan kita dengan suatu penyerahan rohani.

“Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?” kata-kata Kanak-kanak Yesus ini hendaknya jangan dipahami sebatas kata-kata luar biasa dari seorang anak kecil. Sto.Lukas, penulis kitab Injil, adalah seorang tabib. Ia terbiasa untuk menulis dengan rinci bukan tanpa maksud. Maka kita boleh bertanya-tanya mengapa Sto.Lukas memutuskan untuk mencatat peristiwa ini. Dalam tradisi bangsa Yahudi, bahkan hingga saat ini, ada upacara inisiasi yang amat penting dalam kehidupan seorang manusia setelah sunat. Upacara itu adalah Bar Mitzvah yang dijalani oleh seorang anak laki-laki yang berusia 13 tahun. Maka ada yang berbeda pada perayaan Paskah yang diikuti Keluarga Kudus ketika itu. Perayaan Paskah kali itu adalah kali terakhir bagi Maria dan Yusuf dapat menganggap Yesus (ketika itu berusia 12 tahun) sebagai seorang anak-anak yang harus tunduk patuh pada jalan pikiran orang tuanya. Maria sendiri, sebagai ibu yang baik, pasti sudah merencanakan segala yang terbaik bagi anaknya. Ia mungkin berpikir sama seperti lazimnya orang tua, “Saya tahu apa yang terbaik bagi anak saya.” Namun toh, kata-kata Kanak-kanak Yesus pastilah tetap mengguncangkannya. “Rumah Bapa” dalam bahasa Kanak-kanak Yesus pastilah sudah cukup mengguncangkan hati Maria.

Dikatakan dalam Injil bahwa Maria menyimpan peristiwa itu (yaitu apa yang dikatakan Kanak-kanak Yesus) dalam hatinya. Benar bahwa Maria ketika itu sudah menyerahkan Yesus secara fisik pada Yahwe melalui sunat, tapi Kanak-kanak Yesus mengingatkannya kembali bahwa yang paling mendasar adalah sikap penyerahan rohani. Yesus mengarahkan Maria agar ia tidak sibuk dengan segala rancangannya sendiri, melainkan mengarahkan segala kerinduannya (yaitu penyelamatan oleh Yesus) kepada Bapa. Ia mengarahkan Maria untuk bersikap tidak melekat.

Bagaimana dengan kita? Adalah wajar bila seorang manusia memiliki cita-cita, memiliki kerinduan yang besar dan mendalam, namun apakah kita sudah menyerahkannya kepada Tuhan?

~IOJC (tu scis quia amo te)~

Saudara...,
"Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran,
daripada penghasilan banyak tanpa keadilan.

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya,
tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya"
(Ams 16:8-9)

Deus Meus et Omnia
Saudara...,
"Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran,
daripada penghasilan banyak tanpa keadilan.

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya,
tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya"
(Ams 16:8-9)

Deus Meus et Omnia


KATEKESE TAHUN BARU: MENGAPA MARIA DISEBUT BUNDA ALLAH?

Bagaimana mungkin Allah memiliki seorang Ibu? Bagaimana Gereja mengimani hal ini?

Ada tiga alasan mengapa Maria disebut Bunda Allah, yaitu:
1) Maria melahirkan Yesus, yang sungguh Allah,
2) Maria melahirkan Seseorang dan bukan melahirkan kodrat,
3) untuk melindungi kodrat Yesus yang sungguh Allah [walaupun Ia juga sungguh manusia].

Bahwa Maria adalah ibu Yesus adalah suatu fakta yang tidak mungkin disangkal, karena tertulis secara jelas di dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, kitab Kejadian mengisahkan permusuhan antara ular dengan ‘perempuan itu’ (lih. Kej 3:15), di mana para Bapa Gereja menginterpretasikan bahwa ‘perempuan itu’ adalah Maria. Nubuat ini dilanjutkan oleh nabi Yesaya tentang kelahiran Immanuel dari anak dara/ perawan (‘virgin‘ (Inggris)/ almah (‘Ibrani’) lih. Yes 7:14). Gambaran di dalam Perjanjian Lama kemudian mendapatkan pemenuhannya dalam Perjanjian Baru ketika Malaikat Gabriel mengatakan kepada Maria bahwa anak yang akan dilahirkannya disebut kudus, Anak Allah (lih. Luk 1:35), yang diperkuat oleh kesaksian Elizabeth, yang menyebut Maria sebagai ibu Tuhanku (lih. Luk 1:43). Bahkan berdasarkan Gal 4:4, yang mengatakan bahwa Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan, Martin Luther percaya bahwa Maria memang adalah Bunda Allah.[1]

Kalau seorang ibu melahirkan anak, maka yang dilahirkan adalah seseorang atau pribadi (person), bukan kodrat dari orang tersebut. Seorang ibu tidak melahirkan kemanusiaan namun seorang manusia atau seorang pribadi. Seseorang bisa saja menjadi bupati, direktur perusahaan, prodiakon pada saat yang bersamaan. Namun, ibu yang melahirkan orang tersebut bukanlah ibu dari bupati atau ibu dari direktur perusahaan atau ibu dari prodiakon, namun ibu dari orang tersebut, yaitu keseluruhan dari orang tersebut, yang dapat saja mempunyai beberapa tugas. Dengan pemikiran yang sama, Bunda Maria adalah Bunda Allah, karena dia melahirkan pribadi Yesus, yang memang sungguh Allah – karena Yesus merupakan pribadi ke-dua dari Trinitas.

Ketidakmampuan untuk menangkap bahwa seorang ibu melahirkan seseorang (person) dapat berakibat fatal, seperti yang ditunjukkan oleh ajaran sesat dari Nestorius, seorang Uskup Agung Konstantinopel (428-431). Nestorius menganggap bahwa Bunda Maria hanya melahirkan Yesus yang sungguh manusia, di mana ke-Allahan Yesus masuk ke dalam Yesus manusia. Yesus dianggap bukanlah Allah, namun hanya seorang manusia dengan Allah yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, menurut Nestorius, di dalam Yesus ada Allah namun Yesus bukanlah Allah. Sedangkan iman Kristiani mengajarkan bahwa Yesus adalah sungguh Allah, dan sungguh manusia, sehingga dengan menyebut bahwa Maria adalah Bunda Allah, maka sama saja menyatakan bahwa Maria adalah Bunda Yesus yang sungguh Allah -walaupun Yesus juga adalah sungguh manusia. Dengan demikian, dogma Maria Bunda Allah mendukung dogma Yesus yang sungguh Allah.

Sumber: Situs Katolisitas
--Deo Gratias--