Sunday, October 7, 2012

Dalam suatu diskusi non-formal sambil ngopi-ngopi, tiba-tiba seorang teman menyela pembicaraan dan berkata: "Setiap tindakan baik apapun, selalu pikir dulu baru lakukan. Perbuatan baik tidak selalu menghasilkan buah yang manis."

Kami tertegun mendengar kata-katanya karena belum mengerti ke mana tujuannya. Melihat wajah kami melongo tanda belum mengerTi, ia pun menceritakan kisah perbuatan baiknya menolong seorang yg tergeletak karena dikeroyok segerombolan pemuda. Ia tidak berpikir panjang akan efek negatif dari perbuatannya. Ia kebetulan melintas mengendarai sepeda motor dan melihat pemuda mengerang kesakitan akibat tikaman pisau di tubuhnya. Lalu dengan spontan teman ini turun dari sepeda motornya dan menelepon polisi. Setengah jam kemudian polisi datang memberi pertolongan dan teman ini pun melanjutkan perjalanan. Tapi tak lama kemudian, 2 orang polisi membuntutinya seraya memintanya berbalik arah. Ia heran, kesalahan apa yang ia perbuat sehingga polisi datang.

Rupanya polisi mau meminta keterangan darinya sehubungan kasus penikaman pemuda yang sekarang telah dirawat di rumah sakit. Sebenarnya pertanyaan polisi kepadanya hanya minta kesaksian, tetapi lama-kelamaan pertanyaan itu seolah-olah menyudutkannya seolah-olah ia dianggap sebagai teman pembunuh itu, yang berpura-pura berbuat baik menghilangkan jejak. Urusannya menjadi rumit dan mengganggu banyak aktivitasnya.

Saudara-saudara, terkadang karena takut berurusan, takut repot dan kehilangan waktu, kita membiarkan suatu persoalan terjadi. Memang perlulah selalu berpikir sebelum melakukan tindakan yang kita anggap baik, tetapi jangan lupa bahwa spontanitas dalam melaksanakan kebaikan juga tidak bisa dibendung.

Barangkali persoalan yang dipikirkan oleh Lewi dan Imam dalam Injil hari ini (Luk 10:25-37) adalah: takut repot dan tidak mau berurusan lebih lama yang akhirnya bisa menjadi tugas utamanya. Ketika seorang pemuda disamun di tengah jalan menuju Yeriko, orang pertama yang melintas di jalan sunyi itu adalah kaum Lewi, yang dalam kalangan Yahudi dianggap sebagai kaum terpandang dan terpelajar. Ia malah memalingkan mata dari si korban seolah-olah tidak melihat apa yang terjadi. Orang kedua yang melintas adalah Imam, yang merupakan jabatan dan posisi terhormat di tengah masyarakat. Kaum imamlah yang selalu mengajarkan kebaikan dan cinta kasih dan tau menerangkan hukum-hukum kasih yang tertera pada Kitab Taurat.

Tetapi ketika tiba pada realita, hukum itu mesti diterapkan, ia malah tidak sanggup melakukannya. Sekarang di depan matanya ada pemuda tergeletak hampir mati. Pemuda itu butuh bantuan, tetapi imam yang sedang melintas hanya melihatnya sejenak lantas pergi berlalu. Orang ketiga yang lewat di jalan itu orang Samaria, yang dalam pandangan Yahudi sebagai kalangan yang hina dan rendah. Orang Yahudi sering mencemooh kelompok ini sebagai kelompok yang tidak beriman. Namun, justru orang yang dianggap berdosa, tercemooh, rendahan, pendosa tak beriman itulah yang mau melakukan tindakan kasih.

Pertanyaan ahli taurat mengenai 'bukan sesamaku' dijawab Yesus dengan: "Tidak ada orang yang bukan sesamaku". "Sesama" bukanlah soal darah atau kebangsaan atau persekutuan keagamaan. Hal ini untuk mengobah pola pikir Yahudi yang menganggap bahwa sesama itu adalah teman sebangsa Israel, seperti tertulis dalam teks Kitab Imamat. Tetapi dengan perumpamaan Yesus ini, nampak bagi mereka (walau sulit diterima) bahwa sesamaku adalah semua manusia yang diciptakan Tuhan hadir bersamaku di dunia ini. Kepada mereka, aku wajib membagi kasih.

"Kasih" juga bukan soal apa yang kuketahui, kuucapkan dan kutuliskan untuk orang lain, tetapi soal sikap-tindakan yang kumiliki terhadap orang lain. Imam dan orang Lewi tahu benar mengenai perintah Allah, dan seperti ahli taurat pasti dapat menafsirkannya bagi orang lain. Tiap hari mereka ini mengajar di sinagoga tentang hukum kasih, tentang sedekah, tentang perbuatan baik, tetapi ketika tiba waktu praktek mereka tidak memiliki tujuan yang mendalam. Itu berarti bahwa kasih yang mereka ajarkan hanya tinggal di bibir saja. Sementara orang Samaria, dengan melaksanakan kasih, menunjukkan bahwa ia mengetahui hukum.

Injil hari ini menyinggung semua strata sosial kita, baik kalangan pimpinan, kaum terpelajar, terpandang, politikus, agamawan, rakyat jelata dan sebagainya. Kita semua disapa Yesus lewat Sabda-Nya, supaya kita kembali menyadari bahwa "KASIH" tidak punya batas, sekat, golongan, darah, bangsa, teritorial. Kasih berlaku untuk semua orang. Karena itu, untuk membagi kasih kita tidak perlu bertanya orang itu dari agama apa, suku apa, bangsa apa. Tetapi lihatlah bahwa ia membutuhkan uluran tanganmu. Itulah sesamamu, itulah sesama kita. Dalam hal ini spontanitas sangat berlaku. Untuk menjalankan kasih, kita harus siap menanggung semua resikonya. Semoga.

Deus Meus et Omnia