Thursday, September 13, 2012

Keadilan harus diperjuangkan dengan cara yang mulia dan tak ternodai, dengan tidak berbuat dosa.

*"Beati pauperes spiritu!--"Berbahagialah mereka yang rendah hati."

Fratres,
Tentu banyak yg pernah mendengar prinsip 'The end does not justify the means', ya? Maksudnya, 'Tujuan Tidak Membenarkan Cara.' Artinya, walaupun tujuannya baik, tidak lantas segala macam cara dibenarkan untuk diperbuat untuk mewujudkan tujuan yang baik tersebut.

Kita mundur ke belakang, pada peristiwa final Piala Dunia 2006, Germany: French Vs Italia. Marco Materazzi memprovokasi Zinedine Zidane. Materazzi mengata-ngatai Zidane sebagai teroris dan saudara perempuan Zidane adalah pelacur. Zidane kemudian menanduk Materazzi. Kartu merah dihadiahkan kepada Zidane. Beberapa hari setelah final, yang dimenangkan Italia lewat penalti, Materazzi dihukum oleh FIFA dan diberikan sanksi sebagai hukuman.

"Two wrongs don't make a right."
Satu kesalahan tidak bisa ditambah kesalahan lainnya untuk kemudian menjadikan satu kebenaran. Sebuah frase yang cukup terkenal di dunia Barat, bahkan sering diadaptasi dalam film2 layar lebar Hollywood ataupun serial televisi yang mewarisi sedikit banyak nilai-nilai Gereja (meskipun mereka sekarang berusaha sekuat tenaga untuk membuang segala pengaruh Gereja dan diakui mencapai kesuksesan yang cukup besar). Ini adalah suatu prinsip yang sangat Katolik sekali.

Semangat dari prinsip ini mengajarkan bahwa meskipun kita dijahati, kita tidak bisa membalas perbuatan itu dengan kejahatan lainnya. Karena dengan melakukan kejahatan sebagai balasan atas tindakan kejahatan yang dilakukan pada kita, maka itu sama saja membenarkan adanya kejahatan.

Jadi kalau kita sudah membalas yang jahat dengan yang jahat, apa yang membedakakan kita dengan orang yang sudah menjahati kita? Sekalipun pembalasan kita yang jahat tersebut sama nilainya atau lebih kecil nilainya dari kejahatan yang dilakukan terhadap kita namun tetap saja kita telah memberi pembenaran terhadap yang jahat, yang relatif itu hanya terletak pada kadar atau tingkatan "nilai"-nya [saja], toh?

Pada akhirnya kita tidak berusaha untuk menjauhi yang jahat sama sekali, tapi melakukan kompromi dengan prinsip "minus malum" ("jahat minimal") yang super sesat itu.

Materazzi tentunya kurang ajar dan melanggar sportivitas karena lancang menghina orang yang dicintai Zidane, Lapindo bisa jadi punya kehendak buruk dan ingin lempar tanggung jawab, NAMUN SEMUA ITU TIDAK MEMBENARKAN PERBUATAN JAHAT APAPUN SEBAGAI BALASAN ATASNYA.

Materazzi, Zidane, telah bersalah karena melakukan kesalahan.

one wrong + one wrong =//= one right

one wrong + one wrong = two wrongs

Kondisi terpojok seperti apapun tidak membenarkan seseorang untuk berbuat dosa. Setiap orang diberi rahmat yang cukup untuk tidak berbuat dosa (1Kor 10:13). Karena itu tidak akan pernah ada kondisi terpojok yang satu-satunya jalan keluar adalah berdosa. Allah tidak akan mengijinkannya.

Hanya kelemahan manusia-lah yang membuat mereka mengira bahwa mereka harus berdosa untuk keluar dari masalah. Pemikiran seperti ini berarti MERASA LEBIH BIJAK DARIPADA Allah.

Sekalipun kamu lapar dan tidak punya uang atawa makanan, maka kalau kamu mencuri, maka kamu telah berdosa (bisa berat, bisa ringan). Sekalipun sebagai contoh perusahaan Lapindo tidak memberi uang sesenpun atau pemerintah cuek 100% pada hal tersebut sama sekali ini tidak membenarkan perbuatan dosa oleh para korban yang adalah penghinaan terhadap Allah dan tidak pernah boleh dilakukan.

Keadilan harus diperjuangkan dengan cara yang mulia dan tak ternodai, dengan tidak berbuat dosa.

Mentalitas kebanyakan orang yang dengan gampang membenarkan perbuatan dosa menjadi motivasi untuk meneruskan pengajaran kuno Gereja yang selalu sama sampai akhir jaman ini. Terutama karena pada masyarakat yang tidak berbudaya Kristen seperti di Republik kita tercinta ini yang kurang terbiasa atau bahkan tidak pernah mendengar prinsip ini (Two wrongs don't make a right).

Bahkan, kalau tidak salah, pada pengajaran "sebelah/tetangga" pernah bilang, "Kalau kamu dijahati maka balasalah dengan kejahatan yang serupa. Tapi kalau bisa ampunilah." Mungkin prinsip yang dikenal seperti inilah yang membuat masyarakat Indonesia, yang mayoritas non-Katolik, asing terhadap pengajaran"Two wrongs don't make a right" ini.

Lakukan apa yang bisa dilakukan tanpa berbuat dosa atau melanggar hukum.

Kalau memang satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan untuk menarik perhatian adalah tindakan yang melanggar hukum atau dosa, ya JANGAN DILAKUKAN!

Btw, yang di atas ini tidak akanpernah terjadi.

"No act of sin, even venial one, is justifiable".

"Tidak pernah ada di dunia ini suatu kejadian atau kondisi di mana jalan keluarnya adalah dengan melakukan dosa." Ini dijamin Allah sendiri.

Allah memberi rahmat semua orang untuk menghindar dosa. Allah selalu mengajak manusia untuk tidak dosa. Ketika seseorang berdosa kepada orang lain maka dalam dosa tersebut, selain si orang lain telah tersalahi, otomatis rahmat Allah juga terabaikan, ajakan Allah juga terabaikan. Ini menghinakan Allah.

Setiap orang diberi rahmat yang cukup untuk tidak berbuat dosa (1Kor 10:13). Karena itu tidak akan pernah ada kondisi terpojok yang satu-satunya jalan keluar adalah berdosa. Allah tidak akan mengijinkannya.

Pada ajaran seberang, kita "harus membunuh" mereka yang menyerang kita. Sedangkan dalam GK kita tidak diperintahkan untuk membunuh, tetapi jika kita terpaksa membunuh dalam proses membela diri, hal itu tidak salah.

Dalam Gereja Katolik, membela diri tidak harus dengan cara membunuh. Tewasnya si agresor hanyalah salah satu hal yang bisa terjadi dari proses pembelaan diri. Itu tidak salah, tetapi juga bukanlah sebuah cara yang dianjurkan.

Dalam hukum, seperti yang diajarkan kepada semua Mahasiswa hukum di awal-awal kuliah mereka, berlaku prinsip, "hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah."

Ini juga berlaku di Indonesia. Di jaman otonomi bebas ini setiap provinsi bisa membuat hukum-hukum sendiri dengan cukup bebas. Namun tentunya tidak bisa hukum tersebut bertentangan dengan hukum KUHAP sebagai contoh.

Hukum ilahi adalah hukum tertinggi yang mengatasi segala hukum. Karena itu tidak ada yang boleh menentangnya.

Mengambil contoh mengenai larangan masuk agama Katolik, yang dipraktekkan banyak negara2 tertentu di Timur-Tengah (Pakistan, Saudi Arabia, Republik Islam Iran, dll) ini bertentangan dengan hukum ilahi, jadi tidak bisa diterima.

~ Para martir Kristen selalu berusaha menaati hukum negara Romawi yang kafir dan menindas mereka sepanjang tidak bertentangan dengan hukum ilahi.

~ Mereka membayar pajak kepada pemerintahan yang menindas mereka, dan menghormati Kaisar sebagai pimpinan negara.

~ Dan sejarah tidak mencatat pemberontakan atau gerakan separatis Kristen terhadap pemerintahan Romawi. Mereka taat kepada hukum negara dan kepada Allah.

~ Apapun itu kalau kamu berada dalam suatu negara yang hukumnya menurut kamu tidak adil. Moral Katolik menuntut kamu untuk menentangnya dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum ilahi dan hukum negara yang bersangkutan.

Semoga pembagian kumpulan penerusan pengajaran moral Gereja ini dapat dimengerti dan bermanfaat.

*"Beati pauperes spiritu!--"Berbahagialah mereka yang rendah hati."

[+In Cruce Salus, Pada Salib Ada Keselamatan. Thomas A Kempis, Imitatione Christi, II, 2, 2)
*Kalimat ini diambil dari Kitab Suci Perjanjian Baru Injil Matius 3:5 yang lebih kita kenal sebagai 'Khotbah di Atas Bukit'.

**Credit to DeusVult, Evangelos.
"AKU HANYA PERLU DIBERRI KESEMPATAN, PAK!"


Keluar dari pintu kereta api siang di station Katipunan-Quezon City, Filipina, di dekat tempat kostku, aku berjalan santai menuju eskalator...(tidak seperti biasanya selalu berlari cepat untuk menjadi nomor satu yang naik eskalator sambil memandang para penumpang lain yang seakan menyerbu eskalator...soalnya tiap saat rasa jengkel juga melihat kebanyakan laki-laki Filipina yang biasanya berkejaran untuk menaiki elevator - mengejar waktu karena kesibukan mereka)...tiba-tiba terlihat seorang cacat kaki, yang sedang duduk di kursi rodanya sambil menunggu menjadi pengguna terakhir eskalator agar tidak mengganggu yang lain, yang mempunyai mata, kaki, tangan, telinga, otak dan hati seperti saudara dan aku, namun kadang kita tidak menggunakannya dengan bijak.

Melihatnya, aku bergegas membantunya menggapai tangga eskalator...tapi tiba-tiba keluarlah kalimat singkat, padat yang membuatku hanya terpaku diam menatapnya tanpa sepata kata pun keluar membalasnya; "Pa, terima kasih...tidak usah bantu aku...Aku bisa melakukannya untuk diriku...Apa yang kubutuhkan hanyalah SEBUAH KESEMPATAN yang diberikan oleh orang lain untuk menggapai tangga eskalator ini. Akan tetapi, karena setiap orang seakan mengejar waktu, maka aku hanya menunggu menjadi orang terakhir." Teringatlah aku akan kisah penyembuhan si lumpuh di kolam Betesda;"...Jawab orang sakit itu kepada-Nya: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku."(Yoh 5:2-9)

Aku lalu melangkah mundur dari pintu masuk eskalator, dan membiarkan dia membawa dirinya dengan kursi rodanya memasuki - menaiki tangga eskalator itu dengan cara bertumpuh pada kekuatan kedua tangannya yang kekar di pinggiran sisi tangga eskalator. Aku yang ada di belakangnya hanya terkagum-kagum memandangnya, dan ada rasa sedih sesal menyergap tubuh dan jiwaku.

Jarak dari station kereta api ke tempat kostku yang biasanya hanya 20 menit berjalan kaki, kini harus kutempuh dengan durasi waktu hampir 40 menit hanya karena rasa yang berkecamuk di dalam jiwaku, sampai hampir-hampir ditabrak mobil...Sopir menindis klakson yang membuatku harus melompat ke pinggir jalan karena memang telah mengambil area jalan mobil.

Ya, aku sadar bahwa kadang aku sendiri tidak memberi kesempatan kepada orang lain, apalagi orang kecil dan papa, orang cacat, bahkan sesama sahabatku sendiri untuk mengekspresikan diri dan kemauan mereka dengan bebas. Sering aku tidak memberi peluang kepada mereka untuk menggapai impian-impiannya. Ya, dunia ini panggung sandiwara yang memberi kepada setiap orang kesempatan untuk menjadi pemeran, namun betapa seringnya kita memerankan peranan yang tidak sesuai dengan hati nurani kita.

Di sore/malam ini, kudatangi lagi engkau para sahabatku, dan mengingatkanmu untuk tidak lupa memberi kesempatan kepada siapa saja yang ada bersamamu untuk menggapai impian-impian mereka dengan bebas....Apa yang mereka butuhkan mungkin tidak selamanya bantuan materi dan uang, tapi hanyalah sebuah hati yang mampu memberi mereka sebuah kesempatan dan peluang untuk dapat melakukan apa yang bisa mereka lakukan sesuai dengan cita dan impian mereka. Mungkin mereka yang di luar rumah sangatlah jauh untuk kau gapai, tapi ingatlah masih ada sesamamu yang paling dekat, yakni yang sekantor, seperusahaan, bahkan yang serumah denganmu. Sungguh, mereka menanti kesempatan dan peluang yang terberi dari ketulusan hatimu.

Akhirnya, bila saja kita mau untuk melakukan hal ini, selalu memberi kesempatan dan bahagia melihat orang lain menggapai impian, cita dan cinta mereka, maka betapa indahnya dunia ini karena sesungguhnya "surga telah mendarat di duniamu, duniaku, dan dunia kita bersama.


Goresan hati seorang sahabat untuk para sahabatnya,

***Duc in Altum***