Monday, September 24, 2012

"DI WAJAHMU ADA YESUSKU"
Selasa, 25 September 2012
Injil: Luk 8: 19-21

Yesus telah menjadikan kita semua saudara-saudari-Nya. Ia mengizinkan kita memanggil ibu-Nya sebagai ibu kita. Ia melayakkan kita untuk menyebut Allah, Bapa-Nya sebagai Bapa kita. Intinya, Yesus datang dan menjadikan engkau dan aku sebagai saudara di dalam Nama-Nya agar persahabatan terjalin di antara kita, kebahagiaan kita temukan, dan terlebih lagi agar keselamatan kita gapai di akhir hidup kita nanti.

Namun, betapa sulitnya kita saling menyapa, apalagi saling memperlakukan yang lain sebagai saudara dari satu Bapa, satu Ibu dan satu Saudara Sulung, karena beda bangsa, suku, warna kulit, status dan beragam hal lainnya. Perbedaan ada untuk dihayati dan dijadikan sebagai kekayaan untuk bertumbuh menjadi berkat bagi yang lain, dan bukan sebaliknya dijadikan sebagai alasan untuk menolak, menghujat, apalagi untuk menyingkirkan dan bahkan mematikan. Ingatlah, mekarnya bunga-bunga di taman dengan warna masing-masing memberi kekhasan pada dirinya, namun ketika mereka ditanam bersama dalam sebuah taman atau di satukan dalam sebuah pot bunga, maka mereka pun akan menciptakan keindahan yang akan dikagumi oleh mata yang memandang mereka.

Pagi ini, jika engkau sadar bahwa engkau adalah saudara-saudari dari Yesus, maka ingatlah akan pesan-Nya kepadamu: "Ibu-Ku dan saudara-saudari-Ku adalah mereka yang melakukan Kehendak Bapa di Surga." Dan, kehendak Bapa adalah agar kita saling menerima dan mencintai sebagai saudara, dan bahkan anak dari Bapa yang satu dan sama.

Semoga saja di hari ini Anda mampu untuk melihat dan menemukan Yesus di wajah sesama, karena sesungguhnya Ia telah bersabda: Apa pun yang kamu lakukan atau tidak kamu lakukan kepada salah satu saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan atau tidak lakukan terhadap-Ku."


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabatnya,

***Duc in Altum***
Saudara terkasih dalam Kristus, ketika kita menjadi seseorang yang di anggap orang lain sukses, ingatlah, tak ada segala sesuatu yang berhasil tanpa adanya didikan dan kasih sayang orang tua. Bijaklah mengajarkan anak-anak kita, peliharalah hubungan batin kita dengan kuat. Karena segala sesuatu akan menjadi indah ketika tak ada satupun dari kalian di dalam keluarga merasa tersakiti karena kehilangan keluarga. Semua hal idah akan menjadi berkat dan bahagia menjalani hidup di dunia ini. Amin
Renungan Bijak :

Dahulu kala, di sebuah kaki bukit di pegunungan Himalaya, di dekat sebuah kolam teratai, lahirlah seekor bayi gajah. Bayi gajah ini luar biasa indah menawan, putih bersih seperti salju dengan wajah yang sedikit bersemu kemerahan seperti warna batu karang. Belalainya berkilau indah bagaikan utas tali yang berwarna keperakan, gadingnya yang kuat dan kokoh membentuk sedikit lengkungan yang manis.

Ia selalu mengikuti ibunya ke manapun. Ibu Gajah memetik daun terlembut dan buah termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan kemudian memberikannya. “Kamu dulu, baru Ibu” Ibu Gajah berkata. Ia kemudian dimandikan oleh ibunya di kolam teratai yang sejuk di antara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, Ibu Gajah menghisap air lalu menyemprotkannya ke kepala dan punggung anaknya hingga bersih mengkilap. Kemudian Anak Gajah ini diam-diam mengisi belalainya, dan dengan hati-hati menyemprotkan tepat ke dahi ibunya. Tanpa berkedip, Ibu Gajah balas menyemprotkan air. Balas membalas menyemprot, mereka dengan gembira saling membasahi satu sama lain.

Setelah lelah bermain, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai melengkung dan saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, Ibu Gajah beristirahat di balik keteduhan pohon, sambil melihat putranya bermain dengan penuh keriangan bersama anak-anak gajah lainnya.

Gajah kecil tumbuh dan tumbuh hingga ia menjadi gajah tergagah dan terkuat dalam kawanannya. Pada saat yang bersamaan, Ibu Gajah pun menjadi semakin tua. Gadingnya mulai retak dan menguning, dan tidak lama kemudian Ibu Gajah menjadi buta. Anak Gajah yang telah tumbuh dewasa dan kuat ini kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan memberikannya kepada ibunya yang telah tua dan buta yang amat ia sayangi. “Ibu dulu, baru Aku” ia berkata.

Ia memandikan ibunya di kolam teratai yang sejuk di antara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, ia menyemprotkan air ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. Setelah itu, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, Anak Gajah menuntun ibunya untuk beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air. Ia kemudian pergi bersama gajah-gajah yang lain.

Suatu hari seorang raja pergi berburu dan melihat seekor gajah putih yang begitu indah. “Luar biasa indah! Aku harus memilikinya sebagai peliharaan untuk ditunggangi!” Raja lalu menangkap gajah tersebut dan membawanya ke kandang istana. Raja memberikan kain sutra dan permata yang indah serta untaian kalung bunga teratai kepada gajah tersebut. Raja juga memberikannya rumput manis dan buah-buahan yang lezat serta air murni yang segar untuk diminum.

Akan tetapi, gajah tersebut tidak mau makan ataupun minum. Ia terus menerus menangis, dan menjadi semakin kurus dari hari ke hari.

“Gajah yang mulia” Raja berkata, “Aku menyayangimu dan memberimu sutra dan permata. Aku juga memberikan makanan terbaik dan air termurni, namun Engkau tidak juga mau makan dan minum. Lalu apa yang bisa membuatmu bahagia?”

Gajah tersebut menjawab, “Sutra dan permata, makanan dan minuman tidak membuatku bahagia. Ibuku yang sudah tua dan buta sedang sendirian di hutan tanpa ada seorangpun yang merawatnya. Walaupun aku akan mati, aku tidak akan makan dan minum sebelum aku memberikannya terlebih dahulu kepada Ibu.”

Raja terharu dan berkata, “Tidak pernah aku menyaksikan kebaikan yang sedemikian rupa, bahkan di antara manusia. Tidaklah benar untuk mengurung gajah ini.” Setelah dilepaskan, gajah tersebut segera berlari di antara bebukitan mencari ibunya.

Ia menemukan ibunya di tepi kolam teratai. Ibu Gajah berbaring di atas lumpur, terlalu lemah untuk bergerak. Dengan air mata yang membasahi pelupuk matanya, Anak Gajah tersebut mengisi belalainya dengan air dan menyemprotkan ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. “Apakah hujan?” Ibu Gajah bertanya-tanya, “atau anakku telah kembali?” “Ini anakmu, Ibu!” ia berseru, “Raja telah membebaskan aku!” Ketika ia membersihkan mata ibunya, terjadi keajaiban.

Penglihatan ibunya pulih kembali. “Semoga Raja hari ini berbahagia sebagaimana kebahagiaanku bisa melihat anakku kembali!” Ibu Gajah berkata.

Anak Gajah kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari sebuah pohon dan memberikannya kepada ibunya, “Ibu dulu, baru Aku." Menangislah sang ibu karena bahagia.

Saudara terkasih dalam Kristus, ketika kita menjadi seseorang yang di anggap orang lain sukses, ingatlah, tak ada segala sesuatu yang berhasil tanpa adanya didikan dan kasih sayang orang tua. Bijaklah mengajarkan anak-anak kita, peliharalah hubungan batin kita dengan kuat. Karena segala sesuatu akan menjadi indah ketika tak ada satupun dari kalian di dalam keluarga merasa tersakiti karena kehilangan keluarga. Semua hal idah akan menjadi berkat dan bahagia menjalani hidup di dunia ini. Amin

ERIAL KATEKESE: MAKNA TERDALAM DARI DOA BAPA KAMI, DOA YANG SEMPURNA..

Bagian 3-Selesai: BERILAH KAMI REJEKI, AMPUNILAH KESALAHAN KAMI SEPERTI KAMIPUN MENGAMPUNI YANG BERSALAH, JANGAN MASUKKAN KAMI DALAM PENCOBAAN

Berilah kami rejeki pada hari ini: Yesus sangat mengasihi kita dan peduli pada kita, sehingga Ia mengajarkan kepada kita permohonan ini. Ia mengingatkan kepada kita bahwa rejeki dan nafkah kita, “our daily bread“, adalah berkat dari Tuhan. Tuhanlah yang mengizinkan kita mendapatkan rejeki hari ini, memiliki kesehatan dan hidup sampai pada saat ini, sehingga dapat menikmati rejeki yang Tuhan berikan. “Berilah padaku rejeki hari ini, ya Tuhan, dan ingatkanlah aku bahwa semua rejeki yang kuterima adalah semata-mata berkat-Mu, dan bukan milikku sendiri.” Maka kitapun harus teringat pada orang lain, terutama mereka yang berkekurangan, agar merekapun beroleh berkat Tuhan. Selanjutnya, para Bapa Gereja, terutama St. Agustinus mengkaitkan “our daily Bread” dengan Ekaristi,[6] yang menjadi berkat/ rejeki rohani kita. Ini mengingatkan kepada kita agar kita tidak semata-mata mencari rejeki duniawi, tetapi juga berkat rohani. Bagi kita, berkat rohani yang tertinggi maknanya adalah Ekaristi, saat kita boleh menerima Kristus Sang Roti Hidup. Di sini kita diingatkan oleh para Bapa Gereja untuk memohon kehadiran Yesus, Sang Roti Hidup, di dalam hidup kita setiap hari. Dan jika “setiap hari” ini diucapkan setiap hari, maka artinya adalah selama-lamanya. “Semoga Tuhan Yesus, Sang Roti Hidup itu, sungguh menguatkanku dan menyembuhkanku hari ini, dan selama-lamanya.

Dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami: Dikatakan di sini bukan “ampunilah kami, seperti kami akan mengampuni yang bersalah kepada kami.” Maka seharusnya, pada saat kita mengucapkan doa ini, kita sudah harus mengampuni orang yang telah bersalah kepada kita atau yang menyakiti hati kita. Mari kita renungkan, kalimat yang sederhana ini namun sangat dalam artinya: Bahwa Tuhan akan mengampuni kita kalau kita terlebih dahulu mengampuni orang lain. Jadi artinya, kalau kita tidak mengampuni maka kitapun tidak beroleh ampun dari Tuhan. Betapa sulitnya perkataan ini kita ucapkan pada saat kita mengalami sakit hati yang dalam oleh karena sikap sesama, terutama jika itu disebabkan oleh mereka yang terdekat dengan kita. Namun Tuhan menghendaki kita mengampuni mereka, agar kitapun dapat diampuni oleh-Nya. Maka mengampuni orang lain sesungguhnya bukan saja demi orang itu, tetapi sebaliknya, demi kebaikan diri kita sendiri: supaya kita-pun diampuni oleh Tuhan.

Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat: Mari kita sadari bahwa kita ini manusia yang lemah dan mudah jatuh ke dalam dosa dan kesalahan. Kita belum sampai pada tingkat di mana kita benar- benar terbebas dari segala godaan dan pencobaan. Pencobaan itu bisa bermacam- macam: ketakutan menghadapi masa depan, sakit penyakit, masalah keluarga dan pekerjaan, dst, namun bisa juga merupakan ‘pencobaan rohani’, terutama godaan untuk menjadi sombong, karena merasa telah diberkati dengan aneka karunia dan kebajikan. Untuk yang terakhir ini, St. Teresa, mengingatkan bahwa kita harus selalu rendah hati, tidak boleh terlalu yakin bahwa kita tidak akan jatuh ke dalam dosa. Jangan sampai kita bermegah akan suatu kebajikan. St Teresa mengambil contoh, bahwa kita tidak boleh terlalu cepat menganggap diri sabar, sebab akan ada saatnya bila seseorang hanya sedikit saja menyinggung hati kita, namun langsung kesabaran kita itu hilang. Maka sikap yang terbaik adalah selalu berjaga-jaga, menimba kekuatan dari Tuhan, dan menyadari bahwa kita sungguh tergantung kepada-Nya.

Sumber: Situs Katolisitas
--Deo Gratias--