“Sacrosanctum Concilium” mengingatkan kepada kita bahwa “setiap perayaan liturgi-liturgi, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkat yang sama” (SC, 7). Kita perlu memupuk kesadaran iman ini mengenai liturgi, agar liturgi tidak pernah direduksi menjadi sesuatu yang kita manipulasi sesuka hati. Benediktus XVI pernah mengatakan: “sayangnya, kita juga sebagai gembala dan para ahli, lebih memandang liturgi sebagai sesuatu yang perlu diperbaharui daripada sebagai subyek yang mampu membaharui hidup Kristiani” (Ceramah, 6 Mei 2011). Ketika kita merayakan ataupun mempelajari liturgi, kita mesti bersikap penuh hormat bagaikan nabi Musa yang menghampiri semak duri yang menyala, sebagai tanda kehadiran Allah yang hidup.
Perayaan Misa juga tidak boleh dianggap sebagai tindakan formal belaka, yang dilaksanakan setiap kali kita mengadakan pertemuan atau kegiatan lain, hanya karena kita biasa merayakan Misa pada kesempatan seperti ini. Sebaiknya, merayakan misa pada pembukaan sambil menjalankan, dan pada penutupan konferensi liturgi ini justru mengingatkan kita akan ajaran dari Konsili Vatikan II, yakni bahwa “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja, dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya” (SC,10).
Sayangnya, telah beredar mentalitas dan praktek yang menurutnya liturgi harus terus berubah, disesuaikan pada setiap komunitas, menjadi menarik berkat kreativitas kita. Namun perayaan-perayaan yang bersumber pada logika seperti ini tidak akan memperlihatkan eloknya Gereja yang sebenarnya! Kecenderungan untuk terus mencari solusi yang baru untuk menjadikan liturgi menarik, justru menunjukkan bahwa kita tidak mampu menciptakan keindahan liturgi yang nyata.
Nuntius Apostolik Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi
“Sacrosanctum Concilium” mengingatkan kepada kita bahwa “setiap perayaan liturgi-liturgi, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkat yang sama” (SC, 7). Kita perlu memupuk kesadaran iman ini mengenai liturgi, agar liturgi tidak pernah direduksi menjadi sesuatu yang kita manipulasi sesuka hati. Benediktus XVI pernah mengatakan: “sayangnya, kita juga sebagai gembala dan para ahli, lebih memandang liturgi sebagai sesuatu yang perlu diperbaharui daripada sebagai subyek yang mampu membaharui hidup Kristiani” (Ceramah, 6 Mei 2011). Ketika kita merayakan ataupun mempelajari liturgi, kita mesti bersikap penuh hormat bagaikan nabi Musa yang menghampiri semak duri yang menyala, sebagai tanda kehadiran Allah yang hidup.
Perayaan Misa juga tidak boleh dianggap sebagai tindakan formal belaka, yang dilaksanakan setiap kali kita mengadakan pertemuan atau kegiatan lain, hanya karena kita biasa merayakan Misa pada kesempatan seperti ini. Sebaiknya, merayakan misa pada pembukaan sambil menjalankan, dan pada penutupan konferensi liturgi ini justru mengingatkan kita akan ajaran dari Konsili Vatikan II, yakni bahwa “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja, dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya” (SC,10).
Sayangnya, telah beredar mentalitas dan praktek yang menurutnya liturgi harus terus berubah, disesuaikan pada setiap komunitas, menjadi menarik berkat kreativitas kita. Namun perayaan-perayaan yang bersumber pada logika seperti ini tidak akan memperlihatkan eloknya Gereja yang sebenarnya! Kecenderungan untuk terus mencari solusi yang baru untuk menjadikan liturgi menarik, justru menunjukkan bahwa kita tidak mampu menciptakan keindahan liturgi yang nyata.
Nuntius Apostolik Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi
Perayaan Misa juga tidak boleh dianggap sebagai tindakan formal belaka, yang dilaksanakan setiap kali kita mengadakan pertemuan atau kegiatan lain, hanya karena kita biasa merayakan Misa pada kesempatan seperti ini. Sebaiknya, merayakan misa pada pembukaan sambil menjalankan, dan pada penutupan konferensi liturgi ini justru mengingatkan kita akan ajaran dari Konsili Vatikan II, yakni bahwa “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja, dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya” (SC,10).
Sayangnya, telah beredar mentalitas dan praktek yang menurutnya liturgi harus terus berubah, disesuaikan pada setiap komunitas, menjadi menarik berkat kreativitas kita. Namun perayaan-perayaan yang bersumber pada logika seperti ini tidak akan memperlihatkan eloknya Gereja yang sebenarnya! Kecenderungan untuk terus mencari solusi yang baru untuk menjadikan liturgi menarik, justru menunjukkan bahwa kita tidak mampu menciptakan keindahan liturgi yang nyata.
Nuntius Apostolik Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi
No comments:
Post a Comment