Dalam
suatu diskusi non-formal sambil ngopi-ngopi, tiba-tiba seorang teman
menyela pembicaraan dan berkata: "Setiap tindakan baik apapun, selalu
pikir dulu baru lakukan. Perbuatan baik tidak selalu menghasilkan buah
yang manis."
Kami tertegun mendengar kata-katanya karena belum
mengerti ke mana tujuannya. Melihat wajah kami melongo tanda belum
mengerTi, ia pun menceritakan kisah perbuatan baiknya menolong seorang
yg tergeletak karena dikeroyok segerombolan pemuda. Ia tidak berpikir
panjang akan efek negatif dari perbuatannya. Ia kebetulan melintas
mengendarai sepeda motor dan melihat pemuda mengerang kesakitan akibat
tikaman pisau di tubuhnya. Lalu dengan spontan teman ini turun dari
sepeda motornya dan menelepon polisi. Setengah jam kemudian polisi
datang memberi pertolongan dan teman ini pun melanjutkan perjalanan.
Tapi tak lama kemudian, 2 orang polisi membuntutinya seraya memintanya
berbalik arah. Ia heran, kesalahan apa yang ia perbuat sehingga polisi
datang.
Rupanya polisi mau meminta keterangan darinya
sehubungan kasus penikaman pemuda yang sekarang telah dirawat di rumah
sakit. Sebenarnya pertanyaan polisi kepadanya hanya minta kesaksian,
tetapi lama-kelamaan pertanyaan itu seolah-olah menyudutkannya
seolah-olah ia dianggap sebagai teman pembunuh itu, yang berpura-pura
berbuat baik menghilangkan jejak. Urusannya menjadi rumit dan mengganggu
banyak aktivitasnya.
Saudara-saudara, terkadang karena takut
berurusan, takut repot dan kehilangan waktu, kita membiarkan suatu
persoalan terjadi. Memang perlulah selalu berpikir sebelum melakukan
tindakan yang kita anggap baik, tetapi jangan lupa bahwa spontanitas
dalam melaksanakan kebaikan juga tidak bisa dibendung.
Barangkali persoalan yang dipikirkan oleh Lewi dan Imam dalam Injil hari
ini (Luk 10:25-37) adalah: takut repot dan tidak mau berurusan lebih
lama yang akhirnya bisa menjadi tugas utamanya. Ketika seorang pemuda
disamun di tengah jalan menuju Yeriko, orang pertama yang melintas di
jalan sunyi itu adalah kaum Lewi, yang dalam kalangan Yahudi dianggap
sebagai kaum terpandang dan terpelajar. Ia malah memalingkan mata dari
si korban seolah-olah tidak melihat apa yang terjadi. Orang kedua yang
melintas adalah Imam, yang merupakan jabatan dan posisi terhormat di
tengah masyarakat. Kaum imamlah yang selalu mengajarkan kebaikan dan
cinta kasih dan tau menerangkan hukum-hukum kasih yang tertera pada
Kitab Taurat.
Tetapi ketika tiba pada realita, hukum itu mesti
diterapkan, ia malah tidak sanggup melakukannya. Sekarang di depan
matanya ada pemuda tergeletak hampir mati. Pemuda itu butuh bantuan,
tetapi imam yang sedang melintas hanya melihatnya sejenak lantas pergi
berlalu. Orang ketiga yang lewat di jalan itu orang Samaria, yang dalam
pandangan Yahudi sebagai kalangan yang hina dan rendah. Orang Yahudi
sering mencemooh kelompok ini sebagai kelompok yang tidak beriman.
Namun, justru orang yang dianggap berdosa, tercemooh, rendahan, pendosa
tak beriman itulah yang mau melakukan tindakan kasih.
Pertanyaan ahli taurat mengenai 'bukan sesamaku' dijawab Yesus dengan:
"Tidak ada orang yang bukan sesamaku". "Sesama" bukanlah soal darah atau
kebangsaan atau persekutuan keagamaan. Hal ini untuk mengobah pola
pikir Yahudi yang menganggap bahwa sesama itu adalah teman sebangsa
Israel, seperti tertulis dalam teks Kitab Imamat. Tetapi dengan
perumpamaan Yesus ini, nampak bagi mereka (walau sulit diterima) bahwa
sesamaku adalah semua manusia yang diciptakan Tuhan hadir bersamaku di
dunia ini. Kepada mereka, aku wajib membagi kasih.
"Kasih" juga
bukan soal apa yang kuketahui, kuucapkan dan kutuliskan untuk orang
lain, tetapi soal sikap-tindakan yang kumiliki terhadap orang lain. Imam
dan orang Lewi tahu benar mengenai perintah Allah, dan seperti ahli
taurat pasti dapat menafsirkannya bagi orang lain. Tiap hari mereka ini
mengajar di sinagoga tentang hukum kasih, tentang sedekah, tentang
perbuatan baik, tetapi ketika tiba waktu praktek mereka tidak memiliki
tujuan yang mendalam. Itu berarti bahwa kasih yang mereka ajarkan hanya
tinggal di bibir saja. Sementara orang Samaria, dengan melaksanakan
kasih, menunjukkan bahwa ia mengetahui hukum.
Injil hari ini
menyinggung semua strata sosial kita, baik kalangan pimpinan, kaum
terpelajar, terpandang, politikus, agamawan, rakyat jelata dan
sebagainya. Kita semua disapa Yesus lewat Sabda-Nya, supaya kita kembali
menyadari bahwa "KASIH" tidak punya batas, sekat, golongan, darah,
bangsa, teritorial. Kasih berlaku untuk semua orang. Karena itu, untuk
membagi kasih kita tidak perlu bertanya orang itu dari agama apa, suku
apa, bangsa apa. Tetapi lihatlah bahwa ia membutuhkan uluran tanganmu.
Itulah sesamamu, itulah sesama kita. Dalam hal ini spontanitas sangat
berlaku. Untuk menjalankan kasih, kita harus siap menanggung semua
resikonya. Semoga.
Deus Meus et Omnia
Kami tertegun mendengar kata-katanya karena belum mengerti ke mana tujuannya. Melihat wajah kami melongo tanda belum mengerTi, ia pun menceritakan kisah perbuatan baiknya menolong seorang yg tergeletak karena dikeroyok segerombolan pemuda. Ia tidak berpikir panjang akan efek negatif dari perbuatannya. Ia kebetulan melintas mengendarai sepeda motor dan melihat pemuda mengerang kesakitan akibat tikaman pisau di tubuhnya. Lalu dengan spontan teman ini turun dari sepeda motornya dan menelepon polisi. Setengah jam kemudian polisi datang memberi pertolongan dan teman ini pun melanjutkan perjalanan. Tapi tak lama kemudian, 2 orang polisi membuntutinya seraya memintanya berbalik arah. Ia heran, kesalahan apa yang ia perbuat sehingga polisi datang.
Rupanya polisi mau meminta keterangan darinya sehubungan kasus penikaman pemuda yang sekarang telah dirawat di rumah sakit. Sebenarnya pertanyaan polisi kepadanya hanya minta kesaksian, tetapi lama-kelamaan pertanyaan itu seolah-olah menyudutkannya seolah-olah ia dianggap sebagai teman pembunuh itu, yang berpura-pura berbuat baik menghilangkan jejak. Urusannya menjadi rumit dan mengganggu banyak aktivitasnya.
Saudara-saudara, terkadang karena takut berurusan, takut repot dan kehilangan waktu, kita membiarkan suatu persoalan terjadi. Memang perlulah selalu berpikir sebelum melakukan tindakan yang kita anggap baik, tetapi jangan lupa bahwa spontanitas dalam melaksanakan kebaikan juga tidak bisa dibendung.
Barangkali persoalan yang dipikirkan oleh Lewi dan Imam dalam Injil hari ini (Luk 10:25-37) adalah: takut repot dan tidak mau berurusan lebih lama yang akhirnya bisa menjadi tugas utamanya. Ketika seorang pemuda disamun di tengah jalan menuju Yeriko, orang pertama yang melintas di jalan sunyi itu adalah kaum Lewi, yang dalam kalangan Yahudi dianggap sebagai kaum terpandang dan terpelajar. Ia malah memalingkan mata dari si korban seolah-olah tidak melihat apa yang terjadi. Orang kedua yang melintas adalah Imam, yang merupakan jabatan dan posisi terhormat di tengah masyarakat. Kaum imamlah yang selalu mengajarkan kebaikan dan cinta kasih dan tau menerangkan hukum-hukum kasih yang tertera pada Kitab Taurat.
Tetapi ketika tiba pada realita, hukum itu mesti diterapkan, ia malah tidak sanggup melakukannya. Sekarang di depan matanya ada pemuda tergeletak hampir mati. Pemuda itu butuh bantuan, tetapi imam yang sedang melintas hanya melihatnya sejenak lantas pergi berlalu. Orang ketiga yang lewat di jalan itu orang Samaria, yang dalam pandangan Yahudi sebagai kalangan yang hina dan rendah. Orang Yahudi sering mencemooh kelompok ini sebagai kelompok yang tidak beriman. Namun, justru orang yang dianggap berdosa, tercemooh, rendahan, pendosa tak beriman itulah yang mau melakukan tindakan kasih.
Pertanyaan ahli taurat mengenai 'bukan sesamaku' dijawab Yesus dengan: "Tidak ada orang yang bukan sesamaku". "Sesama" bukanlah soal darah atau kebangsaan atau persekutuan keagamaan. Hal ini untuk mengobah pola pikir Yahudi yang menganggap bahwa sesama itu adalah teman sebangsa Israel, seperti tertulis dalam teks Kitab Imamat. Tetapi dengan perumpamaan Yesus ini, nampak bagi mereka (walau sulit diterima) bahwa sesamaku adalah semua manusia yang diciptakan Tuhan hadir bersamaku di dunia ini. Kepada mereka, aku wajib membagi kasih.
"Kasih" juga bukan soal apa yang kuketahui, kuucapkan dan kutuliskan untuk orang lain, tetapi soal sikap-tindakan yang kumiliki terhadap orang lain. Imam dan orang Lewi tahu benar mengenai perintah Allah, dan seperti ahli taurat pasti dapat menafsirkannya bagi orang lain. Tiap hari mereka ini mengajar di sinagoga tentang hukum kasih, tentang sedekah, tentang perbuatan baik, tetapi ketika tiba waktu praktek mereka tidak memiliki tujuan yang mendalam. Itu berarti bahwa kasih yang mereka ajarkan hanya tinggal di bibir saja. Sementara orang Samaria, dengan melaksanakan kasih, menunjukkan bahwa ia mengetahui hukum.
Injil hari ini menyinggung semua strata sosial kita, baik kalangan pimpinan, kaum terpelajar, terpandang, politikus, agamawan, rakyat jelata dan sebagainya. Kita semua disapa Yesus lewat Sabda-Nya, supaya kita kembali menyadari bahwa "KASIH" tidak punya batas, sekat, golongan, darah, bangsa, teritorial. Kasih berlaku untuk semua orang. Karena itu, untuk membagi kasih kita tidak perlu bertanya orang itu dari agama apa, suku apa, bangsa apa. Tetapi lihatlah bahwa ia membutuhkan uluran tanganmu. Itulah sesamamu, itulah sesama kita. Dalam hal ini spontanitas sangat berlaku. Untuk menjalankan kasih, kita harus siap menanggung semua resikonya. Semoga.
Deus Meus et Omnia
No comments:
Post a Comment